Suasana
hangat, sangat ingin terjadi di setiap keluarga. Berkumpul dalam satu hari
tanpa adanya kegiatan di luar rumah. Hal inilah yang terjadi di keluarga Hensom.
Terlahir sebagai anak seorang pengusaha ternama, membuat Hensom cukup sulit
untuk bertemu bapaknya.
Televisi
layar datar 55inch bertengger manis di hadapan sofa kecil berwarna biru. Meja
berukuran sedang dengan vas berisi bunga cantik, menambah keindahan di sini.
Tiga sofa lainnya berderet dekat dinding yang dihiasi foto keluarga itu. Ruang
keluarga ini, menyatukan kehangatan anak dan orangtuanya.
"Hensom,
bagaimana kuliahmu selama ini?" tanya Bapaknya yang duduk di salah satu
tiga sofa itu.
Hensom
yang sedang disibukkan dengan memandang ponselnya segera menyahut. "Alhamdulillah,
lancar." Ia duduk menyandar di punggung sofa kecil itu. "Kerja Bapak,
bagaimana?"
"Ya,
dengan para pengusaha lainnya dan bisnis yang dijalankan, lalu rumah,"
"Rumah
jadi pilihan terakhir, Pak."
Bapaknya
tersenyum sinis. "Tak hanya pilihan terakhir, tetapi kan juga tempat
beristirahat."
"Asal
tidak meninggalkan lima kewajiban, maka tak mengapalah."
"Loh,
bagaimana bisa Bapak tinggalkan? Kamu dan Mama kan prioritas utama. Urusan
pekerjaan beres, urusan rumah pun terjaga,"
Hensom
menggeleng. "Bukan itu, Pak." Ia menutup aplikasi hapalan al-Quran.
"Oh,
Bapak paham. Maksud kamu sholat? Bapak tetap sholat kok. Lima waktu Bapak
usahakan, meski yah terkadang telat atau yah ... pernah bolong, karena break
meeting yang molor,"
Hensom menggeleng lagi. "Itu baru satu kewajiban, Pak. Belum dijalankan
dengan penuh."
"Empat
lagi apa?" tanya Bapak Hensom.
"Puasa,
Bapak? Apakah berpuasa penuh selama bulan ramadhan?"
Bapaknya
mengangguk mantap. "Itu sih lancar."
"Sholat
jumat?"
"Lancar
juga."
"Bapak
kan mampu secara materi, betul?"
"Iya."
"Secara
tenaga?"
"Tentu. Usia Bapak baru menginjak 51 tahun."
"Lalu,
mengapa Bapak tidak menunaikan ibadah haji?"
Bapaknya
terdiam. Tapi dengan cepat, pria berambut klimis itu menjawab, "Belum
dapat panggilan untuk ke sana. Bukankah bila belum ada panggilan, maka tidak
ada kewajiban untuk melaksanakan haji? "
Hensom
menghela napas. Tubuhnya bergerak sesaat. Lalu meletakkan ponselnya di atas
meja. Merasa hening dengan keadaan, bapaknya penasaran dengan satu hal lagi.
Baca Juga: Menunggu Angkutan Umum Tiba
"Lalu
apa kewajiban yang satu lagi?"
"Menunaikan
yang haq, menjauhi yang bathil." Jawab Hensom.
"Bapak
tidak mengerti?"
"Sebagai
seorang pengusaha ternama, Bapak haruslah menunaikan kebenaran dan menjauhi
yang salah. Artinya, karena profesi Bapak adalah pebisnis, maka jangan berlaku
curang atau tidak adil dalam menakar timbangan,"
“Kedua
hal itu, memang sangat tipis dalam dunia bisnis, sebab terkadang dilakukan demi
kembalinya modal usaha atau untung sebanyak-banyaknya,” Bapaknya tertawa seraya
menganggukkan kepala. "Kamu tahu, hukum dalam masalah kebenaran di dunia
ini sebenarnya tidaklah adil."
"Betulkah?"
"Anggaplah
si A adalah korban yang mengajukan tuntutan terhadap B untuk dihukum
seadil-adilnya. Kemudian, tuntutan tersebut dikabulkan. Tapi ada catatan
tambahan yaitu biaya pengajuan tuntutan diberatkan kepada B. Nah, coba kamu
timbang, apakah keputusan itu adil?"
"Jadinya
lebih berat sedikit ke B?"
"Nah,
coba kamu telaah secara mendalam,"
"Aku
hanya ingin kita satu keluarga tidak hanya berkumpul di rumah ini saja. Namun
dapat berkumpul pula di rumah yang tempatnya berada di surga. Itu saja,
Pak."
Baca Juga: Fiksi tentang Otomotif
Bapak
Hensom terdiam sejenak. Apa yang dikatakan anakku ini ada benarnya juga,
batin Bapak Hensom. Ia menatap lekat puteranya itu. "Ya, Bapak akan selalu
ingat kata-katamu, Nak. Terima kasih telah mengingatkan, Bapak."
35 komentar
Semoga putra-putra penerus di setiap keluarga diberkahi pengetahuan seperti Hensom dan menyampaikannya pada keluarga dan lingkungan.
Soalnya ga smua ortu bs sekomunikatif ini dgn anaknya. Kdg boomers malah ingin smua diperintah dipenuhi. Anak hrs nurut.
Smg kita pny anak2 yg mau mengingatkan kita dlm hal kebaikan.
Dulu aku juga sering ngobrol gini
Yah gak semua sih ya
Aamiin~
Alhamdulillah bapaknya juga orangtua yang lapang hati menerima masukan dari anak.
Cerita yang menarik kak Fenni. Semoga banyak menginspirasi keluarga-keluarga di dunia nyata.
Terima kasih sudah mengingatkan yg baik2, semoga selalu ingat dalam sehari-hari. Aamin.