Saatnya zero-kan sampah dimulai dari kawasan menggiring kita untuk sadar bahwa permasalahan sampah adalah hal yang krusial. Urgensinya sangat mendasar, karena dari generasi ke generasi terus berupaya mengatasi cara pengelolaan sampah agar tidak terjadi penumpukan bahkan menggunung di TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Tragedi Leuwigajah pada tahun 2005 (kompas.com, 21/2/2011) dimana tumpukan sampah yang menggunung sejak puluhan tahun harus meluluhlantakkan jiwa-jiwa yang bernyawa yang memakan korban hingga 157 jiwa. Belum lagi kabar dalam seminggu terakhir ini (cilegon.bco.co.id, 3/2/2021) bahwa banyaknya sampah yang menumpuk di pantai dekat Pelabuhan Merak, disinyalir bahwa sampah tersebut adalah sisa sampah rumah tangga dari hulu sungai yang membawa sampah tersebut hingga ke laut.
Dari
dua kejadian di atas, permasalahan sampah ini bukanlah hal yang sepele seperti
mudahnya menepukkan kedua tangan yang cepat terdengar bunyinya. Namun perlu
ditelusuri apa saja yang perlu dibenahi agar kejadian serupa tidak kembali
terjadi baik di tempat tersebut maupun di wilayah lainnya. Oleh karena itu, melalui
Zero Waste Cities dapat mendobrak permasalahan
sampah dengan cara kompak pilah sampah dari kawasan.
Macam-macam Sampah yang Mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
Sebelum berkenalan tentang Zero Waste Cities, sangat perlu untuk kita mengenal macam sampah, agar saat nanti pengelolaannya lebih tepat guna. Sebagaimana mengacu kepada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Makanya di dalam rumah kita sendiri pasti sering melihat sampah dari yang bentuknya sisa makanan, kulit buah, akar hingga batang sayuran, kulit bawang, bungkus plastik dan sebagainya. Macam-macam sampah yang diatur pengelolaannya di dalam undang-undang terdapat 3 jenis yaitu:
- Sampah spesifik dapat dicontohkan seperti puing bongkaran bangunan, sampah yang mengandung bahan beracun/berbahaya, sampah mengandung limbah berbahaya dan beracun, sampah yang timbul akibat bencana, sampah yang timbul secara tidak periodik, dan sampah yang secara teknologi belum dapat diolah.
- Sampah sejenis sampah rumah tangga, adalah sampah yang berasal dari kawasan industri, kawasan komersial, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.
- Sampah rumah tangga merupakan sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
Dengan pengenalan jenis sampah ini, langsung terpikirkan bahwa sampah rumah tangga memang paling banyak menghasilkan. Sebab kalau dihitung rata-ratanya mulai dari berapa jumlah anggota keluarga di dalam satu Kepala Keluarga. Dari tiap kepala keluarga kalikan dengan jumlah RT, lalu kalikan lagi dengan jumlah RW, kemudian kalikan lagi dengan jumlah kelurahan, kembali kalikan lagi dengan jumlah kecamatan, lanjut lagi kalikan dengan jumlah kotamadya/kabupaten, kalikan lagi dengan jumlah provinsi. Maka hasilnya, dapatkah membayangkan berapa totalnya jika tiap orang menghasilkan sampah, gaess?
[Baca Juga: Bumi Lestari Tanpa Deforestasi Hutan]
Dari
situlah banyak pelopor yang bergerak dalam mencari solusi bagaimana cara jitu pengelolaan
sampah ini. Sebab bila tidak dikelola dengan tepat, menggunungnya sampah tentu
tak terelakkan, sedangkan kita tahu bahwa efek dari sampah yang tidak dikelola
sepenuhnya akan berdampak pada:
- Pencemaran udara, tanah, dan air.
- Polusi laut.
- Longsor.
- Gangguan kesehatan, beberapa diantaranya seperti diare, disentri, penyakit kulit, dan kolera.
Kendala Klasik tentang Permasalahan Sampah tapi Nyata
Selama
ini terbatasnya lahan penampungan sampah menjadikan cara dengan menumpuknya
tanpa mengolahnya bahkan dengan cara dibakar. Namun justru sampah yang dibakar
dan yang tertumpuk dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan tubuh. Padahal
tiap-tiap Provinsi pasti memiliki TPA untuk menampung sampah, hanya saja tak
dapat dipungkiri adanya kendala klasik tentang permasalahan sampah yang masih
belum ditemukan solusinya seperti:
- Jumlah volume sampah yang besar tidak sebanding dengan kapasitas penampungan sampah di TPA, sehingga tak pelak gunungan sampah tinggi dan ini menjadi berbahaya jika terjadi longsor terutama bila lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal warga.
- Kebiasaan tak kunjung berubah dengan membuang sampah sembarangan baik itu ke selokan atau membuangnya di kali/sungai. Bila dibiarkan lebih lanjut, maka pencemaran laut dapat terjadi.
- Mahalnya biaya pengangkutan sampah, belum lagi kendala jauhnya jarak saat sampah diangkut petugas dari rumah warga lalu ke TPS kemudian ke TPA menjadikan beban ongkos pengangkutan yang terbilang besar.
- Pengelolaan sampah di TPA belum penuh dilakukan, karena sampah yang tiba di TPA hanya tertumpuk sehingga mencari alternatif penanganan dengan cara dibakar.
Bila kita pikirkan dengan saksama, penumpukan sampah baik itu di TPS terlebih lagi di TPA akibat kurangnya pengelolaan yang tepat yang dimulai dari rumah kita sendiri. Mengapa? Sebab kalau diperhatikan isi di dalam bak sampah tercampur menjadi satu berisi sisa makanan, potongan kulit buah, batang sayuran, plastik bungkus kopi dan gula, kertas yang sudah penuh coret-coretan, kaleng botol minuman, kumpulan debu hasil menyapu di dalam rumah, daun-daun kering yang berguguran dan lain-lain. Padahal seharusnya sejak dari rumah telah memilah sampah sebelum di buang ke tempat sampah yang nantinya akan diangkut petugas.
Cara Kerja Program Zero Waste Cities
Hadirnya Zero Waste Cities (ZWC) memberikan gebrakan nyata agar pengelolaan sampah bisa tepat guna. ZWC sendiri adalah salah satu program yang diusung oleh YPBB (Yayasan Pengelolaan Biosains dan Bioteknologi), terinspirasi dari Mother Earth Foundation, di Filipina.
YPBB telah berdiri sejak tahun 1993, merupakan organisasi non profit yang concern terhadap lingkungan untuk mencapai kualitas hidup yang tinggi dan berkelanjutan dengan promosi dan mempraktekkan pola hidup selaras dengan alam.
Zero Waste yang diusung YPBB menitikberatkan pada pengelolaan sampah dari kawasan atau Kompak Pilah Sampah, yang artinya adalah dimulai dari rumah kita sendiri sampah-sampah telah dipilah lebih dulu. Berikut cara kerja program ZWC oleh YPBB:
1. Persiapan Kader ZWC
Menyiapkan kader untuk dibimbing menjadi petugas monitoring, dan Petugas Edukasi setempat.
2. Sosialisasi dan Edukasi ke Rumah Warga
Petugas monitoring ZWC datang ke rumah-rumah warga untuk mengedukasi tata cara pemilahan
sampah, dan mengabari bahwa akan datang petugas pengumpul sampah seminggu
kemudian atau sesuai dengan waktu yang sepakati. Di tahap ini, petugas ZWC
sekaligus memberikan tanda stiker di rumah warga tersebut, sebagai bagian
partisipan program ini.
3. Pemilahan Sampah oleh Warga
Warga telah menyiapkan dua atau 3 wadah penampungan, untuk diisi sampah yang
telah dipisah yaitu sampah sisa makanan (sampah lunak dan keras), sampah
lain-lain, dan sampah bekas diapers/tisu.
4. Pengakutan Sampah dari Rumah Warga
Petugas
pengumpul sampah didampingi petugas monitoring datang ke rumah warga untuk
mengambil sampah yang telah dipilah. Di sini petugas monitoring akan mencatatnya
melalui ponsel.
5. Kader ZWC Menuju Titik Kumpul
Selanjutnya para petugas menuju ke titik kumpul yang telah disepakati oleh RW setempat guna melakukan penimbangan sampah. Nantinya sampah-sampah tersebut akan dipilah secara teratur menjadi:
- Sampah organik: petugas akan mengolahnya secara mandiri menjadi kompos bila belum difasilitasi oleh pemerintah. Namun bila difasilitasi akan diangkut oleh pengangkutan organik ke TPS Organik. Nantinya pupuk tersebut akan dimanfaatkan kembali untuk tanaman warga.
- Sampah daur ulang: akan dijual kembali dan hasilnya untuk diberikan kepada pengumpul sampah sebagai penghasilan tambahan.
- Sampah residu: akan dibawa ke TPS.
Dorongan ZWC Demi Terciptanya Kolaborasi Semua Pihak
Program yang telah dimulai YPBB semenjak tahun 2016 ini, sangat mendorong semua pihak dapat terlibat terutama pemerintah. Tak dapat dipungkiri kendala di lapangan mungkin saja terjadi misalnya seperti: masyarakat yang enggan memilah sampah karena menganggap dapat menambah beban baru, atau RT/RW yang belum mau bergerak lebih dulu menjadi teladan bagi warganya. Oleh karenanya ZWC dapat mendorong tanggung jawab Pemerintah yang memiliki peranan penting untuk memberikan sosialisasi peraturan, serta sanksi pelanggaran dalam pengelolaan sampah.
[Baca Juga: Kuy Kita Bergandengan Bersama Membangun Daerah 3T]
Mengapa harus pemerintah? Sebab pemerintah memiliki andil yang sangat penting dalam mengatur warganya. Hal ini bisa dilakukan dengan:
- Penyebarluasan informasi yang informatif dan kekinian secara berkelanjutan hingga ke perangkat wilayah seperti RW/RT, seperti melalui media sosial, berita televisi, sehingga bisa disebarluaskan kepada para warga. Konsistensi di sini diperlukan, agar Kompak Pilah Sampah di kawasan bisa berhasil.
- Perizinan, karena izin dari Pemerintah merupakan bentuk dukungan yang diberikan agar sosialisasi program ZWC ini berjalan lancar dan berdampak positif untuk lingkungan hidup.
- Pemberian insentif kepada petugas pengumpul sampah maupun kader, sehingga dapat mendukung pekerjaan pengolahan sampah dan menyejahterakan kehidupan mereka.
- Pemberian apresiasi juga dapat dilakukan oleh Pemerintah kepada wilayah yang bisa menurunkan tonase sampah yang diangkut ke TPA dihitung dalam kurun waktu satu tahun misalnya. Ini tentunya berbeda dengan Penghargaan Adipura, karena Adipura menitikberatkan kepada kota yang bersih. Maka melalui apresiasi ini dapat memotivasi wilayah lain agar dapat mengelola sampah dengan tepat mulai dari kawasan.
Kita sudah memiliki regulasi induk pengelolaan sampah melalalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, yang perlu dikembangkan menjadi peraturan daerah dan disosialisasikan sebagaimana Kota Cimahi melalui Peraturan Daerah Kota Cimahi nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah. Dukungan tersebut menjadi pedoman agar Zero Waste Cities dapat dilaksanakan sebagai upaya pengelolaan sampah lebih baik lagi.
Kapan Saatnya Bergerak dan Berubah untuk Mengelola Sampah?
Saat ini Zero Waste Cities telah berkembang di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Denpasar yang bermitra dengan PPLH Bali, dan Kabupaten Gresik yang bermitra dengan Ecoton. Bila ditanyakan apakah ada efek positif dari program yang diusung YPBB ini? Alhamdulilah terlihat perubahan baik cukup sigfinikan yang salah satu contohnya adalah jumlah tonase sampah di Kota Cimahi, sebagaimana pada tabel di bawah ini.
Apa yang telah dilakukan Kota Cimahi menjadi inspirasi agar dukungan pemerintah setempat berkolaborasi dengan kesadaran masyarakat untuk mulai memilah sampah semenjak dari rumah sebelum diberikan ke pengumpul sampah. Hal ini juga menjadikan pelaksanaan pemilahan sampah sebagai suatu keharusan, sekaligus sebagai langkah mengurangi beban biaya operasional pengangkutan sampah, membantu para petugas yang mengangkut sampah sehingga tidak perlu lagi mengelompokkan jenis-jenis sampah, dan juga membantu generasi kita selanjutnya agar tidak lagi terkungkung dengan permasalahan gunungan sampah di TPA.
Kalau ditanya mau kapan mulainya, bukankah sesuatu yang baik bila disegerakan akan menghasilkan dampak yang positif? Oleh karenanya menurut hemat saya, apa yang telah dimulai dengan program Zero Waste Cities ini semoga dapat terus berkelanjutan tidak berhenti di tengah jalan, bahkan menjalar ke semua kota maupun kabupaten di Indonesia.
Memang tidak mudah untuk
memulai pengelolaan sampah dari kawasan. Namun bila Kompak Pilah Sampah ini dijalankan dengan konsisten, bukan tidak
mungkin permasalahan sampah dapat berangsur-angsur dibenahi, sehingga tidak
meninggalkan warisan untuk generasi berikutnya. Semoga program Zero Waste Cities ini juga dapat
terealisasi di semua wilayah di Indonesia. Dengan begitu dapat tercipta lingkungan asri bebas
penumpukan sampah yang berkesinambungan.
53 komentar
Kece khanmain! Semoga bisa menginspirasi lebih banyak orang ya.
Jadi kita bisa ber-zero waste
Sebetulnya untuk memudahkan warga yang sering bingung membedakan sampah organik dan nonorganik
Belakangan lagi banyak dibahas tentang sampah medis bekas pasien covid. Hmm..jadi pingin tahu gerakan macam apa yang bisa dilakukan untuk kasus tersebut.
Saya setuju banget nih dengan program zero-waste. Dan itu harus dipahami dan dilakukan mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Jika setiap keluarga mengikuti aturan yang ditetapkan tentang pengolahan sampah, program inipun akan berjalan dengan baik untuk yang scope besar.
Sementara dari eksternal, sudah banyak lembaga atau organisasi yang peduli dengan masalah sampah ini, salah satunya adalah Yayasan Pengelolaan Biosains dan Bioteknologi yang telah berdiri sejak 1993.
Sangat membantu sekali untuk menjaga kebersihan lingkungan. Semoga saja program zero waste ini bisa juga diterapkan di seluruh wilayah Indonesia ya...
Butuh bgt ilmu tentang zero waste cities ini, karena masih banyak bgt masyarakat yg menganggap remeh sampah rumah tangga.
tapi di manapun kita, harus bisalah mengusahakan untuk zero waste
mungkin bisa bertahap: dimulai dari 1 hari dalam 1 minggu
memang pengolahan sampah yg paling baik adalah dgn memilahnya dulu
di tempat tinggalku blm ada program zwc ini mbak
padahal bagus ya klobsmua daerah sudah menerapkan zwc ini
tapi aku dirumah sudah memilah sampah dan mengolah nya sndr, lumayan bs kurangin sampah yg dibuang ke tps
Didukung dengan hadirnya program zero waste ini, makin mantap pastinya. Semoga bisa diadopsi ke seluruh Indonesia.
Selama ini meskipun sudah dipilah, tetap saja dijadikan satu waktu diambil oleh bapak sampah. Jadinya kan mematahkan semangat.
Saya jga suka bingung membuangnya. Contohnya hape yang rusak, itu mau dimusnahkanpun akan ada pusing puingnya ya