Fiksi by Fenni Bungsu
Waktu yang bergulir sama seperti bumi yang berputar pada porosnya dan juga mengelilingi matahari. Perputaran itu mengikuti sunnatullah dengan disertai perubahan. Entah itu perubahan siang dan malam maupun musim. Tak luput pula perubahan akan usia pada makhluk yang bernyawa. Semula ia berada di dalam rahim ibunya. Masa yang berputar pun kemudian terdengarlah suara tangis bayi yang menandakan telah lahir insan itu, hingga menjalani kehidupan.
Hal itu pula yang terjadi pada diri seorang pemuda. Berubah dalam beberapa langkah hitungan kasarnya, seseorang itu menduduki bangku kuliah. Ia yang bernama Fulan terlahir dari bapak yang berprofesi sebagai pengusaha ternama, sedangkan mamanya adalah ibu rumah tangga yang setiap harinya membahas apa saja bersama kedua temannya.
ilustrasi waktu by pixabay |
Status yang disandang Fulan kali ini, bukan lagi sebagai siswa. Tidak lagi mengenakan seragam, pernak-pernik yang menghiasi pakaiannya, seperti lambang bertuliskan "OSIS", topi dan dasi. Kini gelar itu bertambah dengan kata maha. Jadilah Fulan, sebagai seorang mahasiswa. Ia menjadi pribadi yang mandiri. Pergaulannya mulai beragam. Sifat dewasa memayunginya. Tak ingin lagi baginya seperti anak kecil yang manja. Kawan hanya mau menjadi seseorang yang memiliki kegunaan untuk sesama.
[Baca Juga: Bingung Mau Kuliah atau Kerja? dan Cerita Belum Kelar Pada Bulan Januari ]
Di pagi hari yang indah, pemuda berusia 18 tahun yang tubuhnya tegap dengan tinggi 173 senti, berkulit sawo matang dan rambutnya di sisir ke arah samping kanan, siap untuk menjalani hari pertamanya belajar di universitas. Baru saja menutup pintu pagar rumahnya, dua orang dewasa mendekatinya.
ilustrasi orangtua by pixabay |
"Hai, Fulan! Sudah jadi mahasiswa sekarang." Kata seorang wanita tua yang mendekatinya.
"Alhamdulillah." Fulan tersenyum bangga.
"Syukurlah. Tidak lagi memakai seragam sekolah rupanya." Kata seorang pria tua sambil menggelengkan kepalanya. Ia merupakan suami dari wanita yang menenteng sesuatu di tangannya itu. Ia melihat sesuatu di jaket itu, adanya lambang di bagian bahu yang dikenakan Fulan.
"Terima kasih, Pak dan Bu. Sekarang saya mengenakan ini, namanya jaket almamater."
Suami istri itu mengangguk.
"Jadilah orang yang berguna, Fulan. Karena namamu sekarang ada statusnya, dari siswa ditambahkan kata maha." Ujar pria tua itu seraya membenarkan tongkat yang berada di tangan kirinya.
"Dan juga, jangan sombong. Mentang-mentang menjadi mahasiswa, kamu angkuh terhadap sesama manusia." Istri bapak itu menambahi.
Fulan mengangguk paham. "Sesungguhnya kesombongan itu adalah bukan milik manusia."
[Baca Juga: Senin di Bulan Agustus dan Kisah Sobat dan Kawan ]
Suami isteri itu tampak tidak mengerti. Keduanya saling berpandangan, kemudian melihat ke arah Fulan.
"Ia hanya terjerumus oleh godaan Setan. Manusia yang sebenarnya adalah makhluk yang taat dan patuh, karena memiliki akal dan mau belajar. Sedangkan Setan, menjadi sombong karena ia tidak mau belajar," Terang pemuda berkulit sawo matang itu.
"Maka dari itu, kamu harus jaga diri dari hal apapun." sela wanita tua itu.
Pria tua itu menjawab, "Tak hanya pemuda seperti Fulan saja yang harus menjaga sikap. Kita pun yang sudah berusia matang, harus menjaga pula. Sebab datangnya godaan tidak memandang usia."
"Aamiin. In-syaAllah kita selalu istiqomah." Ujar Fulan menengahi. "Saya pamit bapak dan ibu."
"Hati-hati di jalan, Nak Fulan."
[Baca Juga: Terima Kasih, Kamu Telah Sabar Menunggu]
ilustrasi by pixabay |
Pemuda itu menganggukkan kepalanya. Fulan tersenyum, karena mendapat manfaat akan pertemuan itu. Langkahnya pun dilanjutkan kembali. (Tamat).
30 komentar
Tapi lupa bahwa diri sendiri belum bisa menjadi contoh untuk yang lebih muda.
yang terpenting jangan sombong.
Meski seharusnya ya nggak gitu. Siapapun yang menasehati ya dengarkan. Tundukkan ego juga
terimakasih ceritanya kak Fenni