Fenni Bungsu (Fiksi)
Miss Lea, para siswa kerap memanggilku. Sebagai les bahasa di Lembaga Bahasa Ternama di Kota Bunga, aku menjalani tugas
tersebut untuk anak usia sekolah maupun usia dewasa. Tugas
ini yang kurang lebih sama seperti guru pada umumnya, yaitu mengajar. Bedanya,
hanya pada jumlah siswanya dan lokasi mengajar. Awalnya tugasku untuk
mengajar anak-anak usia SMA dan dewasa. Tak dinyana, Mr Ed, bagian Akademik
memberikan tambahan kelas baru di tingkat SMP, membuatku dibanjiri tugas baru.
***
“Miss, kelas 9 kan
dibagi dua. Jadi miss di kelas 9B. Yang 9A di pegang sama Ms. Meta.”Ujar Mr Ed
dengan penuh harap.
“Sebelumnya kelas 9, selalu
sama Ms. Meta kan?” kataku.
“Iya, jadi gimana?”
Sontak saja aku berpikir dalam – dalam. Banyak
pertimbangan untuk kelas itu. Menurutku mereka sedang dalam masa puber. Usia
remaja yang sedang mencari jati diri dan senang dengan kesibukan baru yaitu
gadget, membuatku berpikir, haruskah mengambil tugas itu? Mulut dan hatiku
tidak terkoneksi dengan baik. Satu sisi aku hendak mengiyakan, karena materi
pelajarannya yang tidak jauh berbeda dengan siswa SMA. Namun di sisi lain,
hatiku enggan menerimanya.
“Aku lihat dulu mereka,
karena kan mereka sudah ada yang terbiasa dengan Ms. Meta. Kalau nggak cocok,
aku lepas yah.” Ungkapku.
“Ya, itu gampang. Kan
Missnya juga sudah biasa sama yang usia dewasa, pelajarannya paling juga nggak
jauh beda.”Jawabnya.
Aku tak menanggapinya lagi,
hingga waktu untuk mengajar di kelas itu pun tiba. Pada hari Senin di bulan
Agustus. Aku menuju ruang kelas dengan penuh keraguan, tapi aku paksakan, “tak
ada masalah!” Belajar selama 90 menit di hari pertama ini menurutku lumayan.
Meski sebenarnya aku membenarkan kata hati itu.
***
ilustrasi by pixabay |
Hari kedua mengajar di
kelas itu, sungguh kata hatiku seakan berbicara melalui mikropon dengan volume
speker yang sangat tinggi, “Lepas saja!” Tak mampu lagi menahan sabar dengan
situasi dan kondisi yang tak dapat kukendalikan. Kata keras pun terlontar
melihat kelakuan mereka yang berteriak kencang, bermain ponsel, dan tugas yang
kuberikan tidak mereka kerjakan. “Ini pada mau belajar apa tidak yah! Saya
kembalikan lagi kelas ini pada tutor sebelumnya!”
Suasana berubah senyap.
Mereka terdiam sejenak. Saling berpandangan diantara mereka satu per satu.
“Eh, eh..makanya diem dong!” ujar siswa yang mengenakan
kerudung biru.
Siswa laki – laki yang
berkulit putih pun menimpali, “Jangan pake
ponsel, hei!”
“Miss tenang aja, jangan baper yah.” Sambung siswa yang berkerudung itu lagi.
Helaan napas membuatku
sabar sejenak, astaghfirullah. Aku
memang tak cocok berhadapan dengan siswa usia SMP. Jumlah mereka yang enam
orang itu, hanya terlihat dua siswa saja yang memiliki keinginan untuk belajar
dan mendengarkan. Sementara yang lainnya sibuk dengan ponsel bahkan ada yang
mengenakan earphone tanpa rasa sungkan terhadap guru les. Keluhan tersebut
lekas aku sampaikan pada bagian akademik.
[Baca Juga: Kisah Sobat dan Kawan (end)]
[Baca Juga: Kisah Sobat dan Kawan (end)]
ilustrasi by pixabay |
“Maaf, situasi dan
kondisinya membuat saya tak dapat lagi mengajar usia SMP. Saya kembalikan lagi
pada Miss Meta.”
Rasa kejut dengan air
muka yang sedih tampak di wajah Mr Ed. Namun, aku tak mau bernegosiasi untuk
hal tersebut, meski dia berusaha untuk menahanku dengan berbagai alasan. Pasalnya,
untuk berkeras kepada siswa bukanlah tipeku dalam mengajar. Aku tak terbiasa
berkata kasar atau pun galak pada anak yang notabene adalah anak orang lain. Tak
pantas pula rasanya membentak kepada usia yang bukan lagi kanak – kanak. Aku
hanya berharap agar kedepannya mereka mau menghargai waktu lelah menuju tempat
les dan biaya yang telah dikeluarkan oleh orangtuanya untuk les, sayangilah
jerih payah orangtuamu.
***
ilustrasi by pixabay |
Senin berikutnya di
bulan Agustus, aku resmi tidak lagi mengajar di kelas mereka. Tatkala aku
menyelesaikan tugas mengajar di kelas lain, pertemuan kembali dengan mereka
yang dua orang siswa itu, cukup berbeda suasana yang kurasakan.
“Miss jahat nih,
ninggalin kita – kita.” Ungkap siswa yang menggunakan kerudung seraya
menyalamiku dengan wajah cemberut.
“Ini bukan AADC kan,”
kataku sambil tersenyum. Dalam hati aku
berujar, andai kalian tahu bagaimana
rasanya menjadi seorang pendidik nanti.
_END_
16 komentar
Cerpen yang menarik, Mba.
Senengnya jadi guru apalagi kalau diarep2 kedatangannya. Moga makin berkah ilmunya ya bu guru dan sabar2 ngadepin muridnya, inget dulu bu guru pernah jd murid juga xixixii
salam kenal
https://aseprohimat.com/makan-santai-di-rumah-makan-cibiuk/