Fenni Bungsu (fiksi) -- Assalamualaikum, semua. Akhirnya setelah cukup lama berhibernasi dari menulis kisah fiksi dengan tokoh utama bernama Sobat dan Kawan, kita tibalah saat untuk merampungkannya. Ada yang sudah menunggu? Hahah.. maklum yak sibuk. Semoga dapat diambil ibrah dan hikmahnya dari kisah tersebut, dan kita senantiasa selalu dijaga oleh Allah Subhanahu Wata'ala, aamiin. Selamat menyimak kisah berikut.
***
Di sebuah kampus...
Suasana kampus bernama Kampus Bunga Rampai sangat ramai oleh mahasiswa yang sedang berkumpul. Kumpulan itu bukan karena sedang belajar atau presentasi dalam tugas. Mereka berkerumun atas satu hal yaitu demonstrasi.
Seorang laki-laki berperawakan kurus tinggi menjelaskan sesuatu. "Teman-teman yang saya hormati. Kita berkumpul di sini untuk membicarakan tentang salah satu partai politik yang selalu menjadi tempatnya para koruptor."
Berbagai tanggapan datang dari para mahasiswa. Ada yang benar-benar mendengarkan dengan saksama, ada yang sibuk dengan ponselnya. Ada berbincang dengan temannya, ada pula yang duduk diam sambil menikmati semangkuk bakso. Bahkan ada pula yang melamun atau tidur.
"Dialah Partai Bibiw. Kita tidak ingin pengurus partai itu, yang salah satu kadernya menjabat sebagai petinggi tetap berada di lembaga rakyat. Maka, kita harus lengserkan!" Ujar laki-laki kurus tinggi itu berapi-api. "Merdeka dari korupsi! Merdeka!"
"Merdeka!" sahut mahasiswa lain seraya mengacungkan lengan kanan ke atas.
Di tempat lain, Kawan yang bersama dengan dua temannya, Jamper yang berkepala plontos dan Mukok berkumis tipis, mendengarkan bisik-bisik mahasiswa lain di kantin kampus.
"Kita dapat apa kalau ikut demo ini? Lagipula event apaan yang mau di demokan?" tanya seorang pria berkulit putih.
"Udah lah, yang penting dapat boks makan siang plus amplop." Bisik temannya yang mengenakan tas ransel biru.
Kawan dan kedua temannya yang mendengarkan percakapan itu saling melirik.
"Bagaimana, Kawan? Kita ikut demo juga?" tanya Jamper.
"Ikut ajalah. Lumayan dapat nasi boks. Kan bisa sekalian buat makan malam aku." Jawab Mukok. Ia yang tinggal di rumah kos, amat memanfaatkan keadaan itu.
Ilustrasi by pixabay |
"Boleh saja. Lagipula aku nggak pernah tahu unjuk rasa itu seperti apa. Selama ini hanya melihat dari tivi saja." Kawan segera bangkit dari duduknya lalu beranjak pergi. Jamper mengikutinya. Sedangkan Mukok menghela napas panjang seraya mengikuti pula.
Rombongan mahasiswa itu langsung bergerak ke lokasi yang ditentukan, yaitu di pusat ibukota dengan berjalan kaki, karena jarak kampus dengan lokasi hanya 1,5 kilometer. Pria yang berperawakan kurus tinggi itu tak henti-hentinya mengobarkan semangat kepada teman-temannya. Kawan dan kedua temannya mengikuti dengan santai.
Sesampainya di lokasi, sudah banyak mahasiswa dari kampus lain. Pusat ibukota pun telah dipenuhi oleh para mahasiswa dari berbagai kampus. Semuanya berunjuk rasa demi tujuan yang sama. Mereka ingin menyuarakan aspirasi dan berharap pendapat itu diterima.
Beberapa meter dari tempat itu, peserta demonstran diminta untuk merapat ke sisi kanan. Tiga orang pria berkemeja putih, yang baru saja keluar dari mobil pickup, membagikan nasi boks beserta dengan amplop.
Kawan, Mukok, dan Jamper yang sudah menerima menepi ke dekat tanaman hijau. Mereka langsung melihat apa yang didapatinya.
"Wah, menunya enak banget." Mukok membuka kotak makan itu.
"Uangnya juga lumayan." Kata Jamper sambil memasukkan lembaran uang ke dalam sakunya, lalu membuang amplop tersebut. "Lantas kita ikut demo juga?"
Kawan tersenyum. "Demo ataupun tidak, terkadang aspirasi kita tidak didengar."
"Ah, masa seperti itu?" tanya Jamper.
"Coba kalian lihat," tunjuk Kawan ke arah utara. "Kita panas-panasan, kehausan, kelaparan, tetapi mereka yang ada di dalam gedung sana, dingin dengan AC, sedang makan enak hanya menutup pintu."
"Tapi ada yang karena unjuk rasa, semua berhasil dikabulkan. Seperti menurunkan harga bahan pokok atau kenaikan upah." Sahut Mukok.
"Benar. Itu karena kita menyuarakan ke tempat yang tepat, dimana perwakilan dari gedung yang dituju mau keluar dan tidak menutup pintu. Sedangkan demo kita kali ini, tidak begitu penting. Karena kita salah sasaran. Seharusnya kita berunjuk rasa ke kantor partainya, bukan tempatnya bekerja."
"Memangnya kenapa?" tanya Jamper.
"Kalau ke kantor partainya, pasti ada pengurus partai." Kawan menyeka keringat di keningnya dengan ujung tangan jaket almamater. "Jika tempatnya bekerja, mungkin saja orangnya tidak disitu. Mungkin sedang ke mal, restoran atau tiduran di rumah. Capek doang, kan?"
Kedua teman Kawan mengangguk.
"Lebih baik, kita ke bioskop saja. Kebetulan ada film edukasi yang baru launching." Lanjut Kawan.
Dok. Pixabay |
Jamper dan Mukok berbinar. Keduanya mengikuti Kawan dengan bergerak mundur teratur. Mereka tak ingin ada seorang pun yang tahu bahwa niat berdemo berubah menjadi nonton ke bioskop. Semua berjalan lancar terkendali. Dan, tidaklah jadi ketiga pemuda itu berunjuk rasa.
19 komentar
Btw bener juga ya kalau semua yang demo itu tahu sasaran nya ke mana, pasti tak akan hanya bikin macet dan panas-panasan saja.
Tapi bedanya aku gak dapat nasi boks dan amplop tetapi dapatnya cuma capai