Fenni Bungsu (Fiksi) - Hadirnya dalam kisah berseri ini yaitu dua orang pemuda bernama Kawan yang merupakan mahasiswa di Kampus ternama, dan Sobat seorang siswa SMP
Dok. Fenni Bungsu |
Teriknya udara masih dirasakan...
Meski hari akan menjelang waktu Ashar. Padahal jika mengukur waktu seharusnya saat ini, bulan Oktober memasuki musim hujan. Namun, menurut ahli cuaca lebih mengartikan adalah musim pancaroba. Hal itu menyebabkan Kawan tampak letih dengan peluh mengalir lembut di tiap-tiap tubuhnya. Untungnya ia tidak mengeluh. Ia tetap melakoni tugasnya sebagai anak seorang pengacara yang low profile dan tidak manja.
Lelahnya berjalan kaki, ia tetap tersenyum. Ia tetap mensyukuri keadaan yang hangat dengan menikmati sejuknya hembusan angin. Hijaunya tanaman di sekeliling rumahnya, membawa rasa semangat pada Kawan. Pasalnya, pintu pagar khas yang bercat hitam keemasan telah dibukanya. Kawan sejenak duduk di teras, seraya melepaskan sepatu dan kaus kaki. Ia pun meletakkan tas ranselnya di atas lantai.
Pemuda ini merebahkan tubuhnya di punggung kursi. Kemudian menghirup napas dengan tenangnya. Kesejukan datang dari hembusan angin yang membelai lembut disertai sapaan hangat dari pohon-pohon hijau yang menghiasi halaman rumahnya. Beberapa menit kemudian. Penat pun hilang, pikiran menjadi tenteram. Kawan bangkit dari duduknya sambil membawa tas ranselnya untuk masuk ke dalam rumah. Baru saja menyentuh gerendel pintu, ia merasakan bahwa setan ada di sampingnya.
Ilustrasi by Pixabay |
Kawan tersenyum licik. Ia menurunkan gagang pintu. Kemudian membuka pintu yang memiliki ukiran khas itu perlahan, tapi belum mengucap salam. Pemuda itu telah mengangkat kaki kanannya masuk ke dalam rumah, sedangkan Setan hendak melangkahkan kakinya juga.
Seketika saja, Kawan menarik keluar kaki kanannya dan lanhsung menutup pintu. "Eits, enak aja mau nginap di rumah aku."
"Lah kamu kan nggak mengucapkan salam. Makanya saya mau ikut." Ujar Setan.
"Kalau mau nginap di dalam, bayar! Sekarang apa-apa mahal."
"Ta-tapi,"
"Memangnya kau nggak ingat demo aku dan kawan-kawan agar barang bahan kebutuhan pokok diturunkan, dan gaji karyawan dinaikkan!"
Setan memeriksa saku dijubahnya. Ia pun terlihat bingung. "Saya nggak punya uang."
"Makanya kerja itu jangan menjerumuskan manusia."
"Tapi kan itu memang pekerjaan saya sampai datangnya hari kiamat."
"Lantas dari pekerjaanmu itu, apakah dapat uang?"
"Tidak."
"Terus selama ini nginap dimana?"
"Di rumah bani adam yang nggak mengucapkan salam."
"Carinya yang gratisan aja maunya!"
"Habis mau bagaimana lagi?"
Ilustrasi by Pixabay |
Kawan geleng-geleng kepala. "Kerja itu yang menghasilkan, dong! Dan paling penting halalan toyyiban. Jadi punya uangnya berkah. Udah sana, nginep di rumah yang lain saja. Bismillahirrahmannirrahiim, Assalamualaikum,"
Setan hanya dapat melihat pemuda itu masuk ke dalam rumahnya dan langsung menutup pintu dengan rapat. Ia sedih tidak dapat menginap gratis di rumah, Kawan.
29 komentar
kisah sederhana tapi berat makna. Saya saja masih suka lupa baca salam kalau masuk rumah
Hiii... Banyak diinapi setan dong?
lanjutkan gan!
Ini pelajaran sederhana namun sarat akan makna dalam kehidupan sehari-hari. Alhamdulillah di rumah sudah membiasakan untuk baca Bismillah dan salam termasuk Alfath yang usianya belum 5 tahun. Kadang Alfath suka nanya, kenapa harus baca salam kan di rumah kosong gak ada yang nungguin? Haha
Penasaran sama sambungan ceritanya deh 😊